Thursday, December 28, 2006

Pusingnya jadi orang tua

thank to sigit, image nya aku ambil tanpa seijinmu


Sebenarnya ini bukan hal baru di Indonesia, specific di Jakarta, pembicaraan ibu-ibu saat pembagian raport, saat di arisan, saat ngerumpi di kantor di mall, juga obrolan iseng bapak-bapak di kantor soal pendidikan anak. Awal tahun biasanya orang tua sudah mulai menyiapkan mencari sekolah untuk anak2 nya, walaupun awal tahu ajaran baru baru di mulai bulan Juni/July, dan memang sekolah2 yang di kenal "BAGUS" sudah membuka pendaftarannya. Dapat kabar dari dari beberapa teman yang mengeluh bahwa dia "terpaksa" mengeluarkan uang cukup banyak 8-12 juta untuk pre-school, dan hampir 20 Juta rupiah, untuk mendaftarkan Anaknya di sekolah Favorite, bahkan ada yang meminta bayaran dan uang pangkal di muka selama setahun. Katakan lah uang bulanannya 5 Juta sebulan berarti sudah harus mengeluarkan uang 60 Juta selama tahun pertama di tambah uang pangkal 20 juta, in total sudah 80 Juta untuk masuk ke "Sekolah Dasar", ini belum yang membayarnya dengan Dollar atau singapore dollar. kemudian seorang di tempat pembagian raport jadi "keder" plus sedih, "wah, jeng suamiku apa bisa yah membiayai pendidikan anak saya ke SD itu, kalau biayanya selangit gitu", tampangnya sudah putus asa karena takut anaknya ngga bisa masuk ke sekolah yang katanya "BAGUS". fenomena atau realita, persoalan nan dilematis ini pasti banyak membuat orang tua sakit kepala.

Salah seorang familly malah dengan bangga bilang kalau anaknya di sekolahkan di sekolah yang berbayar dengan Dollar, dasar aku suka iseng, " wah mbak, kayak di glodok aja, disana juga terima bayaran dollar kalau mau beli komputer jangkrik", asli guyonan ngga lucu.

Aku sempet tanya apa sich kurikulum yang di ajarkan di sekolah "Bagus" itu ?

seorang teman bilang, "Mas, di sekolah itu dari SD sudah diajarin bahasa Inggris dan eksulnya bahasa Cina, perancis atau Inggris"

ya, aku tanya apakah itu memang berguna, kalau bahasa sehari-hari masih bahasa Indonesia, lah kita ini tinggal di Indonesia, berbahasa Indonesia, kalau belanja di kelas carefour atau kemang, plaza Indonesia sekalipun masih memakai bahasa Indonesia. Kalau memang anaknya pengen cas-ces-cos berbahasa Inggris yaa sekolah sekalian di Anglo-Saxon dari Awal biar jadi Fluent. Apa kita sudah ngga bangga dengan bahasa sendiri, apa bahasa Indonesia sekarang sudah jadi bahasa ketiga setelah bahasa asing tadi ?

Saya bertanya, sebenarnya ada fenomena apa sich ? lha wong tinggal di Indonesia, mata uang nya rupiah, gaji rupiah, bayarn pasien dari prakter juga rupiah cuman untuk yang satu itu koq harus mbayar dollar di negara sendiri, terus si mbak dengan santai bilan, "lha so what gitu lho".

Saya yakin cerita saya tentang si Ibu yang panik mungkin bukan di alami banyak Ibu2 di jakarta, dalam jumlah saya yakin mungkin bisa ribuan, bahkan jutaan ibu-ibu sakit kepala. dalam kasus kedua,tapi saya juga yakin banyak ibu-ibu yang bisa membayar dengan Dollar, atau Euro bahkan Poundsterling, cuman kan menggelitik, lah koq sekolah di Indonesia gitu lho. Kalau anaknya sekolah SD di London, Paris atau Berlin ya wajar donk.

Ini sebenarnya baru contoh persoalan dari puncak gunung es persoalan pendidikan di Negara kita, karena demi mengatas namakan gengsi dan trend, orang rela mengeluarkan kocek sampai dalam, serta harus rela membayar jutaan rupiah atau ribuan dollar untuk yang namanya pendidikan dasar. Coba hitung berapa biaya yang harus di keluarkan untuk membeli dollar yaa demi sedikit orang semua warga negara harus menanggung beban negara yang devisanya kabur ke US.

Pandangan saya ada kegagalan dalam sistem pendidikan di Indonesia secara general dan ada degradasi gradual menuju ke arah yang tidak pasti, dimana pendidikan "Bagus" hanya untuk orang yang berduit, pertanyaanya apa orang di Jakarta sudah ngga percaya dengan yang namanya SD/SMP/ SMA INPRES, padahal 20 atau 30 tahun yang lalu "kita" para orang tua sekolah di SD INPRES . Jadi apakah SD INPRES memang sudah ngga up-todate lagi dengan perkembangan jaman atau ini hanya trend saja, kalau memang ngga up to date dimana letak tanggung jawab pemerintah, terutama yang terkait dengan pendidikan. Apa memang kita sudah tidak berdaya atau memang kita sendiri yang sengaja membuat diri kita sebagai tawanan yang sengaja tidak berdaya dan rela di "jajah". Saking parahnya system pendidikan ini sampai pada akhirnya banyak yang menerapkan home scholling karena tidak mau ikut terjebak dengan "system".

Pernah ngga sich ngebayangin kalau pendidikan sudah sangat sedemikian mahalnya di Indonesia, bisa jadi untuk menghasilkan lulusan sarjana bisa sampai Milyaran rupiah yaa. Betapa mahalnya hidup di Indonesia. Jadi mikir kalau cuma alasannya supaya anak bisa berbahasa asing cas-cis-cus, mendingan tak sekolahin di negaranya Napoleon aja, selain bisa berbahasa Perancis plus gratis -tis- tis-tis.

Wah koq saya jadi ikutan mumet

No comments:

Post a Comment